
Belakangan elektabilitas Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni semakin
menurun. Puncak elektabilitas Agus-Sylvi terjadi pada kurun November
hingga awal Januari, yang juara dalam beberapa survei dengan rentang 27%
hingga 30%.
Namun, tren tingginya suara Agus-Sylvi setakat ini mulai memudar. Hal
itu misalnya jika mengacu ke hasil survei Poltracking Indonesia yang
dirilis beberapa hari lalu. Survei yang dilakukan pada 24-29 Januari
2017 itu menunjukan Agus-Sylvi mengalami penurunan 4,5 persen dari
survei Poltracking sebelumnya, dengan perolehan 30,25 persen. Di lain
pihak, Ahok-Djarot naik 1,25 persen dari 28,88 persen, dan Anies-Sandi
juga naik 2,87 persen dari 28,63 persen. Pada survei kali ini,
Agus-Sylvi justru berada di posisi terbawah dengan hanyai 25,75 persen,
di atasnya ada Ahok-Djarot 30,13% dan Anies-Sandi 31,5%.
Yang menarik adalah jika Pilkada disimulasikan dua kandidat, Agus-Sylvi
unggul 45,88 persen jika disimulasikan melawan Ahok-Djarot yang hanya
mendapat 36,5 persen, dengan undecided voters sebanyak 17,62 persen.
Sementara itu, jika Anies-Sandi bertemu dengan Agus-Sylvi maka pasangan
nomor urut tiga itu unggul 46,13 persen melawan 32,75 persen dengan
undecided voters sebanyak 21,12 persen.
Fenomena menurunnya suara Agus tidak hanya soal performa yang kurang
meyakinkan saat debat, tetapi faktor di luar dirinya, terutama mantan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Agus tidak bisa dilepaskan dari
sosok SBY. Citra baik-buruk SBY pasti lekat dengan suami Annisa Pohan
tersebut.
Akhir-akhir ini ada beberapa isu yang mendera SBY, yang pasti akan
berdampak negatif terhadap citra Agus dan mempengaruhi persepsi pemilih.
Pertama adalah kasus korupsi yang menjerat beberapa pembantu SBY. Di
saat SBY terlibat dalam kontestasi Pilkada DKI, dua menteri di eranya
ditetapkan tersangka dan ditahan, yakni Siti Fadillah Supari dan Dahlan
Iskan.
Mantan Menkes Fadilah Supari (66) disangka mendapat jatah dari hasil
korupsi pengadaan Alkes I berupa Mandiri Traveller's Cheque (MTC)
senilai Rp1,275 miliar pada 2007. Kasus tersebut sebelumnya ditangani
oleh Polri, tapi akhirnya diambil KPK. Siti Fadilah dijerat Pasal 2 ayat
1 atau Pasal 3 juncto Pasal 15, Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi juncto pasal 56 ayat 2 KUHP. Dia ditahan pada 24 Oktober
2016.
Sementara itu, Dahlan terjerat tiga kasus dan sudah ditahan sejak 27
Oktober 2016 karena menjadi tersangka penjualan aset milik PT Panca Wira
Usaha (PWU), badan usaha milik daerah (BUMD) Pemprov Jawa Timur. Selain
itu Dahlan juga menjadi tersangka dugaan korupsi pembangunan 21 gardu
induk di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara oleh Kejati Jakarta. Terbaru,
Dahlan ditetapkan tersangka oleh Jaksa Agung Muda Pidana Khusus
Kejaksaan Agung pada 2 Februari 2017 karena dugaan korupsi dalam proyek
pengadaan 16 mobil listrik untuk konferensi APEC.
Tak cukup pada Dahlan, kemarin Andi Zoelkarnaen Mallarangeng alias Choel
Mallarangeng resmi menjadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
diduga terlibat dalam korupsi Hambalang, yang melibatkan kader-kader
utama Partai Demokrat, termasuk menteri era SBY Andi M Mallarangeng.
Hembusan isu korupsi yang simultan pasti berpengaruh terhadap citra
partai Demokrat dan SBY, lalu meluas ke Agus yang menjadi putra mahkota
Demokrat. Meskipun orang baru di dunia politik—yang memungkinkan tak
punya kasus di masa lalu, Agus tetap terseret. Adalah fakta bahwa
kasus-kasus seperti itu digunakan oleh para pendukung lawan, terutama
paslon Ahok-Djarot, untuk melakukan serangan, yang sangat massif lewat
media sosial.
Kedua adalah beberapa efek sinetron yang coba dimainkan SBY tetapi
gagal. Pertama adalah isu penyadapan yang membuat SBY baper di medsos
hingga menggelar jumpa pers di rumahnya di Jakarta, Rabu, 1 Februari
2017 lalu. SBY bahkan menyamakan penyadapan ini dengan skandal
Watergate, yang membuat Presiden Amerika Serikat Richard Nixon
terjungkal akibat penyadapan terhadap lawan politiknya pada 1972.
Berangnya SBY sangat wajar karena yang membocorkan informasi tersebut
adalah pengacara Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Humphrey Djemat,
dalam sidang dugaan penistaan agama.
Humphrey dengan keyakinan menyebut adanya percakapan Ma'ruf dengan SBY
melalui telepon, sebelum Agus bertemu Ma’ruf di kantor PBNU. Humphrey
meminta penjelasan pada Ma'ruf soal adanya permintaan SBY agar menerima
kunjungan anaknya dan meminta agar dibuatkan fatwa mengenai penistaan
agama. Dari kasus penyadapan, SBY mencoba menarik simpati publik dengan
menganggap seolah dirinya korban yang dizalimi.
Selain itu, intrik politik yang hendak dibangun SBY dengan sinetron mode
adalah kesulitannya bertemu Presiden Jokowi. SBY membangun kesan
seolah-olah dirinya mantan yang tak diinginkan dan disia-siakan oleh
penguasa saat ini. Pencitraan ini gagal karena publik menilai kesulitan
SBY bertemu Jokowi justru karena sikapnya yang masih syarat dengan
kepentingan politik partainya.
Karena Agus berada di bayang-bayang SBY, efek sinetron yang gagal ini
juga pasti mempengaruhi elektabilitas Agus. Lawan melalui para buzzer
medsos justru sangat gencar mengeksploitasi ini dengan membandingkan
sikap kenegarawanan mantan presiden BJ. Habibie, yang mampu membebaskan
diri dari kepentingan politik setelah menjadi mantan penguasa.
Dibandingkan dengan Habibie, pamor SBY jelas kalah kelas dalam hal ini
{Rjpkr88newsflash.com}
Komentar
Posting Komentar