
Namanya belum seterkenal Dwi Estiningsih, kader PKS yang meniti karir sebagai provokator pemecah belah bangsa dengan cuitan SARA. Tapi Tati Oktian sejenis dan sepertinya memang sesama Cyber Army yang menggunakan pola-pola yang sama dengan Esti dalam aksinya. Kalau Esti bergerak di Twitter, Tati bergerak di Facebook.
Disinyalir mereka berdua hanya representasi/bagian dari gerakan
sistematis yang memang bertugas mengaduk-aduk persatuan bangsa dengan
cara menggosok sentimen antara pribumi dan nonpribumi dengan senjata
hoax atau informasi bohong tentang 10 juta pekerja Cina dan sejenisnya,
dan biasanya agar makin joss provokasinya selalu tak lupa dikemas dengan
balutan agama.
Persamaannya lagi, mereka itu sehari-harinya guru, pendidik anak-anak
bangsa. Jadi bayangkan bagaimana jadinya masa depan anak-anak itu kalau
gurunya seorang rasis dan nyambi jadi provokator. Kalau Esti di Jogja,
Tati sebagaimana bionya tinggal di Bandung. Dari foto-foto yang
diapload, bisa ditelusuri di mana Tati ini mengajar. Sungguh malang
anak-anak polos kalau sejak dini dijejali Tati dengan nilai-nilai
rasisme.
Status Tati yang rata-rata menggosok sentimen anti-Cina dan anti
pemerintah, sempat diselingi dengan satu status offside berupa provokasi
pembunuhan atas kepala negara. Statusnya berbunyi "Oh Noooo..... Hati-hati Pak Jokowi. Jangan sampai Peristiwa Penembakan di Turkey bisa terjadi juga pada Anda.!!!!"
Status itu dengan cepat menyebar dan disambut dengan gegap gempita oleh
orang-orang bodoh yang terprovokasi status-statusnya selama ini. Mereka
pun memberikan komentar-komentar sadis berupa dukungan untuk membunuh
Presiden RI Joko Widodo. Di antara komen dukungan itu ada yang
menyarankan dipaskan ke muluitnya, ada juga yang menghina mana mungkin
ada yang mau menembak kepala peyang dan sebagainya.
Tati si guru nan lugu semula masih ngeyel ketika ada yang mengingatkan
bahwa statusnya sudah melampaui batas. Namun ketika akhirnya status itu
menjadi viral, tak sedikit netizen yang terkejut lalu balik menyerang
Tati karena tak terima kepala negaranya dibegitukan olehnya. Sampai
kemudian Tati memutuskan mengunci statusnya, dan saya pun menuliskan
kisah ini.
Mungkin Tati dan Dwi Estiningsih serta anggota Cyber Army golongan itu
baru akan sadar ketika negara ini atas jasa mereka menjadi porak
poranda. Mungkin mereka baru akan berhenti memprovokasi kalau anak dan
keluarga mereka menjadi korban ledakan bom seperti terjadi pada
anak-anak tak berdosa di Samarinda.
Mungkin juga Tati dan Dwi Estiningsih tak akan pernah mau tahu
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi bila mereka terus
memprovokasi, karena nalarnya memang sudah pindah dari kepala ke
dengkulnya.
Entahlah...{Rjpkr88newsflash.com}
Komentar
Posting Komentar