Terdakwa kasus dugaan penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok merasa ganjil eksepsi atau nota keberatannya ditolak oleh Jaksa Penuntut Umum.
Eksepsi Ahok ditolak Jaksa.
Satu poin eksepsi yang ditolak, mengenai Surat Al Maidah ayat 51 yang
digunakan politikus untuk menjatuhkan pesaingnya yang non muslim.
Pengalaman itu, dirasa Ahok saat mengikuti Pilkada Bangka Belitung.
Dengan ditolaknya eksepsi itu, Ahok berpendapat, Jaksa hendak
mengajarkan orang untuk melanggar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016
tentang Pilkada.
"Bagi saya jaksa kemarin juga sesuatu yang agak ganjil ya," ucap Ahok di Cilandak Timur, Jakarta Selatan, Rabu (21/12/2016).
Pasal 69 UU Pilkada menyebutkan dalam melaksakan kampanye Pilkada, para
bakal calon dan semua pihak, dilarang melakukan penghinaan kepada
seseorang, agama, suku, ras dan golongan (SARA) terhadap calon kepala
daerah.
"Tapi jaksa mengatakan, 'Ahok ini nganggep dia paling hebat, maunya
debat visi-misi program, nolak SARA' bingung saya jaksa ngomong begitu.
Jadi jaksa mengajari orang melanggar UU Pilkada. Boleh menggunakan unsur
SARA. Aneh toh?" ucap Ahok.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum Ali Mukartono berpendapat, Ahok merasa paling benar.
Menurutnya, merupakan hak kandidat kepala daerah lainnya untuk
menggunakan metode apapun. Selama metode itu sesuai dengan
Undang-Undang.
Jaksa lalu menyindir pernyataan Ahok yang merasa dizalimi oknum politik
yang pengecut karena hanya menggunakan ayat suci dalam menghadapi
pertarungan politik.
"Sikap terdakwa yang secara tidak langsung merasa paling benar dan
paling baik itu semakin nyata, dengan menempatkan dirinya seolah-olah,
tidak ada orang lain yang lebih baik dari terdakwa," katanya.
"Dan orang itu dianggap pengecut hanya karena menggunakan surat
Al-Maidah ayat 51 sebagai bagian dari Al-Quran dalam pesta demokrasi
atau pilkada," kata Ali saat persidangan lanjutan penodaan agama di
Pengadilan Negara Jakarta Utara, Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, Selasa
(20/12/2016).{Rjpkr88newsflash.com}
Komentar
Posting Komentar