Habib Rizieq Shihab, pemimpin besar FPI
ini telah dilaporkan beberapa kali lantaran kasus penghinaan Pancasila
dan penistaan agama. Namun terkesan bahwa pihak Polri mengabaikan
sejumlah pelaporan tersebut. Kamaruddin,aktivis dari Perhimpunan Bantuan
Hukum Solidaritas Indonesia (PBHSI) ini menyayangkan sikap Polri dan
berharap agar polisi tak membiarkan saja pelaporan mengenai dugaan
penodaan agama yang dilakukan Rizieq.
Sebenarnya sudah ada beberapa pihak yang
melaporkan Habib Rizieq ke polisi. Pertama, Sukmawati Soekarnoputri
yang melaporkan Habib Rizieq karena diduga telah menghina Pancasila dan
Proklamator RI.
Kedua, ada Student Peace Institute (SPI)
Universitas Islam Negeri Jakarta yang melaporkan Habib Rizieq terkait
ceramahnya yang menyinggung umat Nasrani, dalam pidatonya di Pondok
Kelapa, Jakarta Timur.
Sedangkan pelapor ketiga adalah
Perhimpunan Mahasiswa Katolik Indonesia (PMKRI). Laporannya sama seperti
SPI yang mempersoalkan ceramah Habib Rizieq yang dianggap menyinggung
umat Nasrani.
Menurut Kamaruddin, Polri justru tak
bertindak cekatan memproses Habib Rizieq. Padahal, hal berbeda terjadi
pada Basuki T Purnama alias Ahok yang dilaporkan telah menodai agama
karena pidatonya di Kepulauan Seribu.
"Namun tidak terlihat kecepatan proses
dari lepolisian atas laporan-laporan terhadap HRS (Habib Rizieq Shihab,
red). Sangat terkesan pihak kepolisian hanya memberikan prioritas
pemrosesan hukum berdasarkan tekanan dan tuntutan aksi massa, atau
provokasi social media, seperti halnya perkara Ahok," ujar Kamar, Senin
(2/1/2016).
Dia menambahkan, secara konstitusional
semua warga negara punya posisi yang sama mata hukum. Karenanya, kata
Kamar, keadilan harus ditegakan melalui proses hukum yang objektif dan
profesional tanpa adanya tekanan politik dari kelompok atau publik mana
pun.
"Kebenaran pada proses hukum tidak
ditentukan oleh besarnya aksi massa yang turun ke jalan untuk mendukung
atau menentang," tegasnya.
Kamar menegaskan, Indonesia yang
dibangun berdasarkan kemajemukan suku, agama, ras dan antar-golongan
(SARA) justru belakangan ini terganggu oleh kepentingan politik jangka
pendek dengan adanya pilkada DKI Jakarta. Menurutnya, organisasi
kemasyarakatan (ormas) berbasis keagamaan telah menjadi alat legitimasi
politik untuk memobilisasi massa demi kepentingan politik praktis calon
kepala daerah tertentu.
"Sebagai contoh adalah ormas Front
Pembela Islam secara terang-terangan memihak ke satu pasangan calon
kepala daerah DKI Jakarta, melakukan propaganda-propaganda negatif
kepada calon kepala daerah lainnya menggunakan isu keagamanan sehingga
menimbulkan aksi mobokrasi besar-besaran yang sangat berisiko tidak saja
bagi keamanan dan kestabilan politik, namun juga paling penting pada
keberagaman," tegasnya
{Rjpkr88newsflash.com}
Komentar
Posting Komentar